Cari Blog Ini

Selasa, 22 Juni 2010

Peran Perilaku Terhadap Penyakit Jantung Koroner

          PJK terjadi akibat plak aterosklerosis yaitu deposit atau penumpukan lemak pada pembuluh darah koroner. Tumpukan lemak inilah yang menyebabkan penyempitan pembuluh koroner, sehingga aliran darah ke otot jantung berkurang jumlahnya. Penyakit Jantung Koroner (PJK) terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat dan menciderai pembuluh darah.Dimana terganggunya aliran darah dari arteri koronaria sehingga otot jantung yang diperdarahi kekurangan suplai darah. Gejala tergantung dari berat ringannya penyumbatan arteri koronaria.
Perilaku-perilaku yang tidak sehat yang dapat menimbulkan PJK yaitu :
1. Merokok.
           Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko utama PJK disamping hipertensi dan hiperkolesterolami. orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya. Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5X lebih dari pada bukan perokok. Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki – laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok. Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun
           Peranan kebiasaan merokok terhadap PJK dapat ditelusuri dari kenyataan sebagai berikut :
  • Asap rokok mengandung nikotin yanpada selg memacu pengeluaran zat-zat seperti adrenalin. Zat ini merangsang denyutan jantung dan tekanan darah.
  • Asap rokk mengandung karbon mono-oksida (CO) yang memiliki kemampuan jauh lebih kuat dari sel darah merah (hemoglobin) dalam halmenarik atau menyerap oksigen, sehingg menurunkan kapasitas darah merah tersebut untuk membawa oksigen ke jarringan termasuk jantung. Hal ini perlu di perhatikan terutama bagi penderita PJK, karena daerah arteri yang sudah ada plak, aliran darahnya sudah berkurang dari yang seharusnya.
  • Merokok dapat menyembunyikan angina, yaitu sakit di dada yang daot member signal adanya sakit jantung. Tanpa adanya signal tersebut, penderita tidak sadar ada penyakit berbahaya yang sedang menyerangnya, sehingga ia tidak mengambil tindakan yang diperlukan.
  • Perokok, dua atau tiga kali lebih mungkin terkena stroke di banding mereka yang tidak merokok.
  • Terlepas dari beberapa banyak yang dihisap per hari, merokok terus menerus dalam jangka panjang berpeluang besar untuk menderita penyumbatan di leher.
  • Perokok mudah mengalami kejang kaki pada waktu alahraga, karena penyumbatan pada arteri di leher.
  • Merokok menempatkan seseorang lebih berisiko menderita penyakit degerative yang lain, termasuk kanker paru-paru.
  • Merokok menurunksn kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah, yang berarti mening katkan risiko PJK.
  • Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, makin besar penurunan HDL.
  • Perempuan yang merokok mengalami HDL lebih banyak di bandingkan laki-laki.
2. Konsumsi makanan kolesterol/ lemak tinggi
          Kolesterol tinggi, yang dimaksud adalah LDL (low-density lipoprotein cholesterol) dikatakan sebagai kolesterol buruk, harus diturunkan kadarnya, dengan diet rendah kolesterol misalnya mengurangi kuning telor, jerohan, udang dan goreng-gorengan, atau minum obat perendah kolesterol. Sebaliknya, kolesterol baik yaitu HDL (high-density lipoprotein cholesterol) justru harus ditinggikan kadarnya dengan olah raga, stop merokok, makan ikan laut dan sebagainya.
         Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan makanan sehari-hari (diet). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika.

3. Kurang latihan fisik/olahraga/exercise
         Kegiatan atau latihan fisik telah terbukti dapat menurunkan mortalitas PJK, sebaliknya pada kelompok yang kurang aktivitas fisiknya, angka serangan ulang lebih besar. (Abdurachman. M, 1990). Latihan fisik/exercise bermanfaat karena dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner, memperbaiki fungsi paru pemberian O2 ke miokard, menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah, menigkatkan kesegaran jasmani, sehingga mengurangi resiko penyakit PJK.
        Untuk itu penderita PJK dianjurkan mengikuti program latihan fisik yang direncanakan secara khusus dan diawasi selama 3 bulan dan terprogram tiga kali seminggu dalam bentu jalan, senam, jogging, berenang dan diikuti terus selama 5 tahun pertama. Dari penelitian di Havard selama 10 tahun (1962-1972) terhadap 16.936 alumni Universitas Harvard AS menyimpulkan orang dengan latihan fisik yang adekuat kemungkinan menderita PJK lebih kecil dibanding yang tidak melakukan latihan fisik. Usahakan untuk ber-olahraga 3-5 kali seminggu @ 30-60 menit, memperhatikan peregangan, pemanasan, latihan dan pendinginan. Mengukur target denyut nadi latihan antara 180-umur sampai 200-umur, setiap kali berolahraga. Misalnya mereka yang berumur 40 tahun, sasaran denyut nadinya pada waktu olah raga adalah adalah 180-40= 120 dan 200-40= 160, jadi antara 120-160 per menit, ini bagi mereka yang sehat jantung.Bagi yang menderita PJK seyogyanya dilakukan treadmill test (uji latih jantung dengan beban).

Efektivitas Palayanan Kesehatan Gratis Di Sulawesi Selatan.


Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah lama diterapkan di Indonesia. Pelayanan gratis bagi penduduk yang membawa surat miskin dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa dan pembagian kartu sehat, adalah contoh kebijakan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan strategi “individual targeting”. Berbagai program Instruksi Presiden (Inpres), secara tidak langsung juga mempunyai aspek kebijakan membantu penduduk miskin, misalnya Inpres Obat dan Inpres Samijaga, merupakan contoh kebijakan dengan strategi “geographic targeting”.
Sebetulnya, kebijakan subsidi tarif pelayanan kesehatan pemerintah, juga merupakan program melayanani kesehatan penduduk miskin. Tarif Rp 500 – Rp 1.000 untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp 2.000 – Rp 5.000 untuk rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum (RSU), membantu penduduk yang kemampuannya terbatas. Sejak 1998 muncul kebijakan lebih sistematis dan berskala nasional untuk melayani kebutuhan kesehatan penduduk miskin, yakni program Jaringan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK).
Pada tahun 2003, pemerintah menyediakan biaya untuk rujukan ke rumah sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang disebut dana Penanggulangan Dampak Pemotongan Subsidi Energi (PDPSE), kemudian diubah namanya menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Dana PDPSE langsung diberikan kepada RSU. Baik JPSBK dan PDPSE adalah contoh “supply side approah” dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin.
Program teranyar pemerintah pusat  untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin dan hampir miskin  akan kesehatannya digulirkan di tahun 2008 ini adalah Jamkesmas (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Anggaran untuk program Jamkesmas ditahun 2008 ini  disiapkan sebesar Rp 4,6 triliun untuk 76,4 juta masyarakat miskin dan hampir miskin.
Seluruh pendanaan program-program di atas bersumber dari pemerintah dan bersifat proyek, karena itu tidak ada jaminan kesinambungannya,  sementara itu sumber dana dari pemerintah daerah belum dipadukan untuk program pengentasan kemiskinan umumnya dan pembiayaan kesehatan khususnya sehingga sulit bagi penduduk miskin jika tidak lagi mendapat jaminan seperti yang pernah diperolehnya.
Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan melalui program unggulan Bapak gubernur  secara cermat menangkap kondisi ini dengan memunculkan ”Program Pelayanan Kesehatan Gratis”sebagai jawaban dari berbagai sinyalemen yang meragukan Sustanibilitas  program Jamkesmas karena didasari pogram-program yang sifatnya proyek dan bahwa program pelayanan kesehatan gratis ini merupakan perpaduan sumberdana pemerintah dengan daerah untuk program pengentasan kemiskinan pada umumnya dan pembiayaan kesehatan khususnya  yang  tidak pernah dilakukan dan itu merupakan kekurangan kita selama ini. Oleh karena itu tanpa suatu program berkelanjutan, akan sulit mengangkat penduduk miskin dari lingkaran kemiskinan termasuk di Sulawesi Selatan ini.
Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan tentunya berharap agar  pembiayaan kesehatan pada masa desentralisasi ini dapat mewujudkan  komitmen daerah terhadap kesehatan, yang tercermin dalam APBDnya,  besaran alokasi anggaran mendekati nilai normative misalnya sesuai dengan standar WHO,  cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan prioritas,  penduduk miskin terlindungi,  biaya operasional dan pemeliharaan tercukupi,  besarnya biaya kesehatan dari APBD lebih besar dari APBN, dan biaya untuk program/pelayanan langsung tercukupi. Olehnya itu Pelayanan Kesehatan Gratis menjadi efisien, karena Pelayanan kesehatan  yang diberikan  itu dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dengan keuntungan yaitu lebih dekat dengan rakyat, lebih responsive, dan lebih sesuai  permintaan
Komitmen pemerintah  Sulawesi Selatan untuk mensukseskan pelayanan kesehatan gratis ini dapat dilihat dari besarnya anggaran yang di alokasikan, dimana pada tahun 2008 anggaran yang disiapkan untuk itu sebesar 81,8 Milyar. Pada tahun 2009 alokasi anggaran untuk Kabupaten dan Kota sebesar 30,4 Milyar dengan asumsi 40 %  bersumber dari propinsi dan 70 % bersumber dari Kabupaten dan kota masing-masing, sementara itu besaran anggaran untuk Rumah sakit Provinsi, Rumah sakit regional dan Balai kesehatan mencapai angka  85,9 Milyar Rupiah.
Untuk itu diperlukan sebuah komitmen penuh (full commitment), bukan komitmen yang setengah hati alias panas-panas tahi ayam dalam melaksanakan program tersebut. Komitmen penuh ini terus dibuktikan oleh Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih periode 2008-2013. Mungkin belum semua tahu bahwa program unggulan ini dilaksanakan secara bertahap semasa kepemimpinan beliau. Tahun 2008-2009 merupakan tahap uji coba, tahun 2010-2011 merupakan tahap pemantapan dan tahun 2012-2013 merupakan tahap pengembangan.
Terhitung Juli 2008 telah diluncurkan bantuan dana tahap I kepada 23 kab./kota dan beberapa RS/Balai tk. provinsi, kemudian pada bulan September 2008 kembali diluncurkan bantuan dana tahap II. Bukan hanya bantuan dana, namun proses legalisasi untuk menjadi sebuah payung hukum terus diupayakan sehingga tersusun sebuah peraturan daerah.
Sembilan (9) bulan sudah berjalan program pelayanan kesehatan gratis ini dan memasuki akhir tahun 2008, kembali pemerintah provinsi melalui Dinas Kesehatan Provinsi akan melakukan Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut 2009 melalui suatu pertemuan Semiloka pada tanggal 25 November 2008 di Hotel Mercure dengan menghadirkan seluruh Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur RSUD serta Pengelola JAMKESDA Kab./Kota ditambah dengan stakeholder yang terkait. Forum ini akan membahas secara detail tentang kepesertaan, pembiayaan, jenis pelayanan kesehatan dan pengawasan, dll dalam rangka penyempurnaan manlak yankes gratis serta rancangan-rancangan untuk memasuki tahap pemantapan, khususnya dalam melahirkan sebuah PERDA YANKES GRATIS.
Sejak diberlakukannya Pelayanan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan berbagai komentar mulai bermunculan, mulai komentar “hitam”, “putih” & “hitam putih” dari masyarakat  maupun Nakes sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada salah satu warga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis, ibu Nurhayati di Perintis Kemerdekaan, mengatakan bahwa ia memperoleh kartu kesehatan gratis berawal dari BLT yang ia terima tahun 2007 sebanyak 4 kali, kemudian pada tahun 2008 ia hanya menerima BLT sebanyak 3  di tambah pemberian kartu kesehatan gratis yang di bagikan oleh petugas. Ibu Nurhayati sendiri pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis tersebut ketika salah satu anaknya di rawat di RSUD Wahidin. Ia mengungkapkan, selama masa pengobatan anaknya, ia tidak dibebankan biaya rumah sakit maupun obat sama sekali kecuali obat yang tidak termasuk dalam daftar yang harus ia bayar. Menurut ibu Nurhayati sendiri, ia sangat puas dengan pelayanan kesehatan gratis tersebut dan sangat setuju dengan adanya program ini karena sangat membantu masyarakat miskin. Ia berharap bahwa program ini terus berkesinambungan dan tidak hanya berjalan sesaat saja.
Menurut Salah Petugas Kesehatan di Puskesmas Kassi-Kassi,  Pelayanan kesehatan gratis hanya diberikan pada jam kerja Puskesmas yaitu dari jam 8-12 siang saja, sedangkan di luar jam kerja jika ada masyarakat yang ingin berobat akan di bebankan bayaran. Masyarakat yang datang ke puskesmas tidak perlu menunjukkan katu kesehatan gratis tetapi cukup menunjukkan KTP dan KK saja. Selain itu pelayanan kesehatan gratis di puskesmas terbatas pada penyakit-penyakit yang mampu di tangani di tingkat puskesmas dan obat-obatan yang diberikan hanya terbatas pada obat yang termasuk dalam daftar saja. Sedangkan pelayanan di tingkat RS, untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis masyarakat harus menunjukkan Kartu Kesehatan Gratis yang telah diberikan.
Salah satu calon Nakes di Makassar mengungkapkan bahwa ia tidak setuju dengan adanya program pelayanan kesehatan ini karena gaji yang di terima tidak sesuai dengan beban kerja dan tidak adanya gaji tambahan. Menurutnya, hal ini tentu berdampak dengan kinerja para petugas kesehatan.
Pelayanan kesehatan gratis mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat miskin karena bukan hanya masyarakat menengah ke atas, mereka pun kini mampu menikmati pelayanan kesehatan dengan gratis. Namun di sisi lain, efektivitas pelayanan kesehatan gratis ini perlu dipertanyakan, karena ada beberapa petugas kesehatan yang tidak setuju dengan adanya pelayan kesehatan gratis ini karena penghasilan yang mereka terima jumlahnya berkurang dari sebelum adanya program ini. Hal ini tentunya berdampak pada kinerja yang dihasilkan para Nakes dalam melaksanakan tugas mereka. Pelayanan yang diberikan bisa saja tidak maksimal dan masyarakat tidak menerima pelayanan yang optimal.
Masyarakat sangat berharap program ini akan terus berkesinambungan bukan hanya berlangsung sesaat saja seperti program-program pemerintah terdahulu. Selain itu masyarakat miskin diharapkan juga memperoleh pelayanan bermutu tinggi sebagaimana masyarakat menegah keatas lainnya.

Potensi Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan

           Masyarakat merupakan lingkungan luar penting karena sebagian besar pendapatan rumahsakit berasal dari masyarakat langsung. Dalam hal ini perlu dipahami mengenai need dan demand. Demand adalah keinginan untuk lebih sehat diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran. Needs adalah keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan harus mendapatkan penanganan medis (Posnett, 1988). Dengan demikian demand masyarakat tidak sama dengan needs. Secara ideal berdasarkan konsep negara kesejahteraan, seluruh needs masyarakat akan dibiayai pemerintah. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan, sehingga pemerintah di negara sedang berkembang melakukan berbagai usaha. Masyarakat yang miskin yang mempunyai needs akan pelayanan kesehatan merupakan pihak yang dibiayai, sedangkan mereka yang mempunyai demand dan mampu membayar diharapkan untuk mandiri.        
             Dalam analisis eksternal untuk melihat peluang dalam potensi masyarakat membayar pelayanan kesehatan harus diperhatikan demand masyarakat. Dalam hal ini demand masyarakat akan rumahsakit dapat dilihat dari berbagai faktor (Fuchs 1998, Dunlop dan Zubkoff 1981) antara lain: Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis yang tercatat dalam data epidemiologi; Penilaian pribadi akan status kesehatannya; Variabel-variabel ekonomi seperti: tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan; Variabel-variabel demografis dan organisasi. Di samping faktor-faktor tersebut masih ada faktor lain misalnya: pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengaruh inflasi. Faktor-faktor ini satu sama lain saling terkait.
           Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Kebutuhan ini dapat dilihat pada pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi data epidemiologi yang ada sebagian besar menggambarkan puncak gunung es, yaitu demand, bukan kebutuhan (needs). secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat. Rumahsakit harus memperhatikan keadaan masyarakat. Harap diperhatikan pula demand terhadap pelayaanan pengobatan alternatif ada di masyarakat. Sebagai contoh untuk berbagai masalah kesehatan jiwa, peranan dukun masih besar. Disamping itu masalah persepsi mengenai risiko sakit merupakan hal yang penting. Ada sebagian masyarakat yang sangat memperhatikan status kesehatannya sehingga berusaha untuk memeliharanya denga baik. Akan tetapi ada pula yang tidak perdulu dengan kesehatannya.
           Variabel ekonomi penting untuk peluang pengembangan rumahsakit adalah penghasilan masyarakat. Sebagian besar pelayanan kesehatan merupakan barang normal dimana kenaikan penghasilan keluarga akan meningkatkan demand untuk pelayanan kesehatan. Akan tetapi ada pula sebagian pelayanan kesehatan yang bersifat barang inferior, dimana adanya kenaikan penghasilan masyarakat justru menyebabkan penurunan konsumsi. Hal ini terjadi pada rumahsakit pemerintah di berbagai kota dan kabupaten. Ada pula kecenderungan mereka yang berpenghasilan tinggi tidak menyukai pelayanan kesehatan yang menghabiskan waktu banyak. Hal ini diantisipasi oleh rumahsakit-rumahsakit yang menginginkan pasien dari golongan mampu. Masa tunggu dan antrian untuk mendapatkan pelayanan medis harus dikurangi dengan menyediakan pelayanan rawat jalan dengan perjanjian misalnya. Dampak kebijakan desentralisasi perlu diperhatikan, apakah meningkatkan penghasilan masyarakat sehingga menjadi peluang atau justru menurunkan sehingga menjadi ancaman bagi rumahsakit.
           Variabel-variabel demografis dan organisasi meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Faktor umur mempengaruhi demand terhadap pelayanan preventif dan kuratif. Semakin tua seseorang, lebih meningkat demandnya terhadap pelayanan kuratif. Sementara itu demand terhadap pelayanan kesehatan preventif menurun. Dengan kata lain, semakin mendekati saat kematian, seseorang merasa bahwa keuntungan dari pelayanan kesehatan preventif akan lebih kecil dibandingkan dengan saat masih muda. Fenomena ini terlihat pada pola demografi di negara-negara maju yang berubah menjadi masyarakat tua. Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan menjadi sangat tinggi. Untuk perawatan orang tua yang lama, mungkin bukan rumahsakit yang menjadi pilihan namun lebih ke perawatan rumah.
            Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan kesadaran akan status kesehatan, dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
Efek inflasi terhadap demand terjadi melalui perubahan-perubahan pada tarif pelayanan rumahsakit, jumlah pendapatan keluarga, dan asuransi kesehatan. Faktor ini harus diperhatikan oleh rumahsakit karena pada saat inflasi tinggi, ataupun pada resesi ekonomi, demand terhadap pelayanan kesehatan akan terpengaruh. Pada saat krisis ekonomi di Indonesia, tercatat berbagai rumahsakit di Yogyakarta tidak mengalami penurunan demand. Justru bangsal-bangsal VIP tidak menurun penghuninya, bahkan ada kecenderungan naik. Salah satu dugaan adalah para pasien kaya yang biasa pergi ke Jakarta atau Singapura, merubah perilakunya untuk mencari penyembuhan di rumahsakit Yogyakarta.

Potensi Masyarakat Melalui Kelurahan Siaga
            Kelurahan Siaga artinya Kelurahan yang mampu memberikan gambaran bahwa masyarakatnya yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat, kejadian bencana, kecelakaan dengan memanfaatkan potensi masyarakat setempat secara gotong royong dimana kelurahan siaga merupakan kelurahan yang penduduknya dinilai telah memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan gawat darurat Kesehatan secara mandiri.
           Tujuan dibentuknya Kelurahan Siaga untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Kelurahan tentang pentingnya kesehatan, Meningkatkan kegiatan masyarakat Kelurahan dalam mengantisipasi dan melaksanakan tindakan penyelamatan Ibu hamil, melahirkan, nifas, bayi dan anak menuju penurunan kematian bayi dan angka kematian ibu.
          Selanjutnya, meningkatnya kegiatan masyarakat kelurahan dalam pengamatan penyakit, kesiap siagaan serta penanggulangan bencana, kejadian luar biasa, wabah dan kegawat daruratan. Selain itu meningkatnya, keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan prilaku hidup bersih dan sehat. Meningkatnya sanitasi dasar dan kemauan dan kemampuan masyarakat Kelurahan untuk menolong diri sendiri di bidang Kesehatan.
          Latar belakang dibentuknya Kelurahan Siaga mengacu SK Menkes No.564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang pelaksanaan Desa Siaga, yakni dimana pada akhir tahun 2008 seluruh desa telah menjadi Desa Siaga, Hanya saja, kata Naniek, karena di Kota Bogor tidak ada desa, yang ada hanya Kelurahan maka istilah program inipun diganti dengan Kelurahan Siaga. Untuk mewujudkan Kelurahan Siaga perlu keterpaduan lintas sektor dan masyarakat dalam upaya percepatan penurunan AKI (Angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi) sehingga target IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dengan pencapaian angka 80 pada tahun 2008 bisa terwujud.
            Untuk membuat Kelurahan Siaga ada 8 indikator yang harus diterapkan di Kelurahan antara lain, adanya Forum Masyarakat Desa, sarana/fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan sistem rujukannya, pengendalian penyakit serta faktor resiko berbasis penyakit masyarakat, sistem kesiapsiagaan penanggulangan kegawat daruratan, terwujudnya lingkungan sehat, dan terwujudnya Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
           Pembentukan dan pengembangan Kelurahan Siaga (iso) merupakan salah satu langkah yang dinilai akan menjadi langkah terobosan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

BUNUH DIRI (SUICIDE)


Bunuh diri (Suicide) merupakan masalah kesehatan yang termasuk dalam ruang lingkup Epidemiologi Kesehatan Gawat Darurat. Dimana kejadian bunuh diri meliputi kejadian yang emergency (darurat), suddent (mendadak), immediately (segera), urgent (penting), temporary (sementara), severe (parah), specific (khusus), threatened (membahayakan), luas (endemik).
            Bunuh diri adalah tindakan mencabut nyawa diri sendiri dengan menggunakan segala macam cara. Motif Bunuh diri ada banyak macamnya. Biasanya pelaku bunuh diri dilanda  keputusasaan dan depresi karena cobaan hidup dan tekanan lingkungan. Adapula yang Bunuh diri karena kekurangsehatan akal alias tidak waras.
            Dari artikel di atas, kejadian bunuh diri terjadi hampir di seluruh dunia, di antaranya di Chicago dan di indonesia, di mana data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, selama 2003 tercatat 62 kasus Bunuh diri. Jumlah ini merupakan kelipatan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Usia pelaku Bunuh diri, tidak main-main, umumnya dilakukan oleh orang dewasa, lansia bahkan ada yang masih belasan tahun (remaja).
Terdapat banyak faktor yang menjadi pemicu seseorang melakukan bunuh diri, salah satunya seperti yang dikemukakan bahwa suasana hati dapat mempengaruhi keinginan bunuh diri, Sebab kalau sedang dalam kondisi sangat buruk, seseorang bisa mengakhiri nyawanya sendiri. Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri. PKC merupakan komponen yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu. Aktivitas PKC pada otak para remaja tersebut jumlahnya sangat kecil dibanding dengan remaja yang meninggal bukan karena bunuh diri. Dari sini disimpulkan bahwa kondisi abnormal PKC bisa menjelaskan mengapa sebagian remaja memiliki keinginan bunuh diri.
Selain itu  faktor ekonomi juga menjadi pemicu bunuh diri, tak bisa dipungkiri banyak kasus stres bahkan Bunuh diri dipicu oleh masalah keuangan. Loren Coleman, penulis “The Copycat Effect,” yang juga banyak menganalisa kasus Bunuh diri, mengingatkan bahwa kasus Bunuh diri selalu meningkat selama terjadi stres akibat masalah ekonomi dan sosial. Kondisi stres berkepanjangan membuat orang tak lagi berpikir rasional. Mereka akan beralih ke kepercayaan mistis seperti astrologi, angka keberuntungan, arti mimpi, dan sejenisnya. Semua ini mendorong mereka melakukan langkah yang tak logis lagi dan membuat gaya hidup kian terperosok. Walau tak selalu mendorong untuk bunuh diri, namun stres juga mengakibatkan hal-hal berbahaya lain.
Pada suatu riset dikemukakan bahwa bunuh diri ditentukan sejak bayi. Percaya atau tidak, tindakan seseorang untuk melakukan bunuh diri ternyata sudah ditentukan saat sang jabang bayi kali pertama dilahirkan. Hal ini terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Swedia pimpinan Dr Danuta Wasserman yang melakukan penelitian atas 700.000 remaja. Dari hasil penelitian Dr Danuta Wasserman itu diketahui bahwa berat badan bayi saat dilahirkan menjadi penentu resiko bunuh diri dikemudian hari. Bayi yang lahir dibawah rata-rata memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan bayi yang lahir secara normal. Resiko itu akan semakin tinggi jika ibu yang melahirkan masih berusia remaja.
            Dari uraian di atas, di ketahui bahwa masalah bunuh diri merupakan masalah yang darurat sehingga perlu dilakukan penanggulangan dengan metode pencegahan dan penanganan yang tepat. PKC bisa menjadi target intervensi terapi pada pasien-pasien yang memiliki perilaku kecenderungan untuk bunuh diri. PKC bisa memberi pencerahan dalam memberi pengobatan efektif bagi pasien-pasien yang memang memiliki kebiasaan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Selain itu perlu himbauan kepada masyarakat dalam menangani stess sebaiknya diarahkan pada gaya hidup yang sehat.

PROGRAM PENANGGULANGAN KEP

A. PENDAHULUAN

Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.
Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index ( HDI )
Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya adalah masalah kurang energi protein (KEP) yang merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Pada Repelita VI, pemerintah bersama masyarakat berupaya menurunkan prevalensi KEP dari 40% menjadi 30%. Namun saat ini Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berdampak juga pada peningkatan jumlah penderita KEP, sehingga target tersebut mungkin tidak akan tercapai, sebaliknya prevalensi KEP justru akan meningkat. Hal ini ditandai dengan ditemukannya penderita KEP yang selama 10 tahun terakhir sudah jarang ditemui.Untuk mengantisipasi masalah di atas, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan kesehatan, termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan, Puskesmas, Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat Pemulihan Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.
Agar upaya penanggulangan KEP lebih efektif diperlukan peran rumah sakit yang lebih proaktif dalam membina puskesmas. Peran proaktif yang diharapkan adalah menfasilitasi pelayanan rujukan meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan sarana. Untuk mencapai pelayanan yang optimal diperlukan adanya buku pedoman sebagai acuan.

B. PEMBAHASAN

Pengentasan masalah kurang gizi pada balita khususnya Kurang Energi Protein (KEP) pada masa mendatang diharapkan menjadi program masyarakat sendiri dengan memberdayakan sumber-sumber daya setempat yang ada. Untuk mencapai kondisi timbulnya kemampuan masyarakat dalam pengentasan masalah KEP pada balita tahun lalu telah dilakukan penelitian potensi masyarakat dalam melaksanakan pengentasan KEP secara swadaya.
Konsep penanggulangan KEP pada balita oleh masyarakat yang meliputi: (1) Penjaringan kasus balita gizi buruk. (2) Pelayanan balita gizi buruk di puskesmas. (3) Pelacakan balita gizi buruk dengan cara investigasi. (4) Pelayanan balita gizi buruk di rumah tangga. (5) Koordinasi Lintas Sektor dalam upaya penanggulangan balita gizi buruk.

PROGRAM PENANGGULANGAN BALITA KEP
1. Penjaringan Kasus Balita KEP
  • Tujuan : Untuk mengetahui kejadian dan jumlah balita KEP
  • Ruang Lingkup : Wilayah kerja puskesmas
  • Uraian umum : Pelacakan adalah menemukan kasus balita KEP melalui pengukuran BB dan melihat tanda-tanda klinis
  • Langkah-langkah kegiatan :
1) Mendatangi Posyandu atau rumah balita yang diduga menderita KEP
2) Menyiapkan atau menggantungkan dacin pada tempat yang aman
3) Menanyakan tanggal / kelahiran anak
4) Menimbang balita
5) Mencatat hasil penimbangan
6) Menilai status gizi balita dengan indeks BB/U standart WHO-NCHS
7) Mencatat nama balita menderita KEP
8) Membuat laporan KLB ke DKK
2. Pelayanan Balita KEP Puskesmas
  • Tujuan : Memberikan pelayanan balita KEP di puskesmas dengan baik
  • Ruang lingkup : Puskesmas
  • Uraian umum : Balita KEP adalah anak yang berumur 0-5 tahun yang BB/Unya & ndash; 3 SD standart WHO-NCHS dan mempunyai tanda-tanda klinis ( marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor )
  • Langkah-langkah kegiatan :
1) Identifikasi balita KEP
2) Pengukuran antropometri dan pemeriksaan klinis
3) Mengatasi hipoglikemi
4) Mengatasi dehidrasi
5) Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
6) Mengobati infeksi
7) Pemberian makan
8) Pengamatan tumbuh kejar kembang
9) Tindak lanjut setelah sembuh
10) Pelacakan balita KEP dengan cara investigasi
3. Pelacakan Balita KEP Dengan Cara Investigasi
  • Tujuan : Untuk mengetahui faktor –faktor yang berkaitan dengan kejadian balita KEP melalui wawancara dan pengamatan.
  • Ruang Lingkup : Wilayah kerja Puskesmas
  • Uraian Umum : Investigasi adalah mencari faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian KEP melalui wawancara dan pengamatan.
  • Langkah-langkah kegiatan :
1) Mendatangi rumah balita KEP
2) Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kunjungan
3) Melakukan wawancara dan pengamatan sesuai kuesioner
4) Melakukan pengukuran ulang ( bila diperlukan )
5) Mengamati tanda klinis dengan fokus marasmus / kwashiorkor.
6) Menjelaskan kondisi kesehatan dan akibat yang mungkin terjadi
7) Memberikan motivasi pada keluarga ( orangtua ) agar balita mau dirujuk ( ke Puskesmas )
8) Melakukan dokumentasi
4. Pelayanan Balita KEP Di Rumah Tangga
  • Tujuan : Untuk meningkatkan status gizi balita KEP
  • Ruang Lingkup : rumah tangga
  • Uraian Umum : Pelayanan gizi adalah pelayanan yang difokuskan pada PMT Pemulihan dan KEP adalah keadaan gizi berdasarkan hasil penimbangan BB pada KMS berada di Bawah Garis Merah (BGM )atau BB/ U –3 SD standart WHO-NCHS
  • Langkah-langkah kegiatan :
1) Menghitung kebutuhan zat gizi berdasarkan BB
2) Menentukan jenis PMT-Pemulihan berdasar BB
3) Mendemonstrasikan cara menyiapkan PMT-P pada ibu
4) Menjelaskan cara pemberian ( frekuensi dan lama pemberian ) PMT-P
5) Menganjurkan untuk tetap memberi ASI sampai umur 2 tahun
6) Menganjurkan pemberian MP-ASI sesuai usia balita
7) Menganjurkan makanan seimbang sesuai umur dan kondisi kesehatan
8) Menganjurkan anak ditimbang secara teratur setiap bulan
9) Memberikan PMT-Pemulihan
5. Koordinasi Lintas Sektoral Dalam Upaya Penanggulangan Balita KEP
  • Tujuan : Melaksanakan kerjasama lintas sektor dalam penanggulangan balita KEP
  • Ruang Lingkup : Koordinasi Lintas Sektor tingkat Kabupaten dan Kecamatan
  • Uraian Umum : Dukungan sektor terkait dalam penanggulangan balita KEP dan Lintas Sektor terdiri dari Pertanian BKKBN, Depag, PKK, Camat
  • Langkah-langkah kegiatan :
1) Menyiapkan bahan rapat koordinasi
2) Membuat surat undangan
3) Mengedarkan surat undangan
4) Menyiapkan sarana dan prasarana
5) Menyampaikan masalah KEP
6) Membuat kesepakatan tindak lanjut / rencana kerja penanggulangan
7) Membuat notulen
8) Melaporkan hasil rapat
9) Umpan balik
Adapun program penaggulangan KEP lainya meliputi :
1. Intervensi yang dilakukan pada saat skreening kasus, intervensi antara lain penyuluhan individual dan konseling, pengetahuan tentang pola asuh keluarga dan PMT.
2. Intervensi di bidang pertanian, mikronutrien, penyediaan air minum yang aman dan sanitasi yang baik, pendidikan tentang gizi dan makanan, memberikan perhatin khusus kepada kelompok yang rentan serta pengadaan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
3. Pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan dan bila keadaan status gizi anak belum mengalami perbaikan maka diteruskan dengan pemberian makanan tambahan pemeliharaan. Pada kasus - kasus kronis yang memerlukan rawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas) maka kasus di rawat inapkan bahkan bila memerlukan rawatan lanjutan dapat di rujuk ke RSUD, biaya rujukan sementara di dapat dari biaya APBN
4. Memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan.program yang bersifat terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan.
5. Peningkatan pendapatan, pendidikan gizi, suplementasi makanan hingga subsidi bahan pangan, serta tindakan lain yang berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
6. KEP yang umumnya terjadi di daerah dengan kondisi miskin, fokus harus diarahan pada kondisi spesifik yang ada. Pengobatan infeksi cacing 3 kali setahun misalnya akan sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penanganan diare yang saling terkait dan seperti membentuk lingkaran setan dengan KEP juga memerlukan perhatian khusus.
7. Penyuluhan mengenai pentingnya ASI, peningkatan kondisi air bersih dan kebersihan lingkungan, monitoring pertumbuhan anak melalui sarana pelayanan kesehatan telah terbukti sangat efektif. Oleh karena itu hal yang sangat mungkin namun sulit diwujudkan adalah mengaktifkan kembali posyandu-posyandu terutama yang sudah tidak berjalan pada tingkat dusun.
8. Meningkatkan variasi jenis makanan terutama yang berasal dari kebun dan ternak sendiri juga sangat efektif. Penyuluhan gizi sebaiknya diberikan pada tingkat rumah tangga untuk meningkatkan produksi sayur-sayuran berdaun hijau tua, buah-buahan berwarna kuning dan orange, unggas, telur, ikan dan susu. Program penyuluhan gizi mengenai keberadaan produk pangan yang kaya protein dan mikronutrien di daerah setempat akan sangat efektif dan bekesinambungan.

Keputusan Strategik


BAB I
PENDAHULUAN

            Keputusan strategik merupakan salah satu tanggung jawab utama pucuk pimpinan organisasi. Organisasi memerlukan wahana untuk merealisasikan misi dan visinya, dan wahana itu adalah disain organiasi. Kekeliruan di dalam mendisain organisasi akan membawa organisasi ke tempat lain selain tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Textbook strategic management mengajarkan bahwa disain organisasi seharusnya mendukung usaha organisasi merealisasikan cita-cita yang telah dituangkan dalam misi dan visi yang selanjutnya dirinci dalam rencana strategik (Strategic Plan), rencana taktis (Tactical Plan) dan rencana operasional (Operational Plan). Secara berurutan, semakin ke arah rencana operasional, rencana yang dibuat semakin rinci hingga penentuan apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang individu di dalam organisasi.
            Proses ini merupakan pekerjaan besar yang tidak mungkin akan selesaidikerjakan dalam semalam. Oleh karena itu, pucuk pimpinan organisasi tidak jarang mengundang keterlibatan para direktur atau kepala departemen dalam proses penyusunannya. Keterlibatan ini semakin menjadi mendesak ketika suatu organisasi beroperasi di dalam sebuah lingkungan yang sangat dinamis. Para direktur ini pada umumnya menguasai bidangnya masing-masing sehingga mereka dapat memberikan masukan yang sangat berharga di dalam proses penyusunan rencana strategik organisasi
            Hal ini sejalan dengan pemahaman kita bahwa semakin tinggi posisi seseorang dalam hirarki organisasi maka semakin luaslah cakupan bidang yang harus dihadapi. Mustahil apa bila seorang pucuk pimpinan organisasi memahami secara rinci situasi riil dan kegiatan di tingkat operasional. Robbins dalam bukunya secara eksplisit mengkaitkan tanggung jawab itu dengan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankannya seperti tampak dalam diagram berikut.
            Di dalam proses mendisain organisasi keterlibatan para direktur itupun diperlukan, paling tidak untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan teknis operasi yang saat ini berfungsi di dalam organisasi. Sebagai misal direktur departemen sumber daya manusia. Dia akan lebih memahami situasi ketenagakerjaan terkait dengan tingkat pendidikan, ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seluruh karyawan dibandingkan pucuk pimpinan itu sendiri. Pemahaman ini nantinya berguna di dalam menentukan rentang kendali (span of control) di dalam proses penyusunan disain organisasi
            Keberhasilan perubahan yang direncanakan ditentukan oleh komiten dari semua tingkatan kepemimpinan yang datang dari lubuk hati mereka sendiri bukan sesuatu yang dipaksakan.Dengan komitmen diharapkan dapat mengikat dalam sikap dan perilaku atas keputusan-keputusan strategik yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan pada tingkat resiko yang paling minimum untuk dihadapi oleh stakeholders.
            Jadi kepemimpinan yang peka atas resiko yang dihadapi dimasa depan karena adanya gelombang perubahan dengan tingkat ketidakpastiannya yang besar, menuntut kepemimpinan memiliki seperangkat pengetahuan sebagai komitmen dirinya untuk menghadapi semua persoalan yang ditimbulkan oleh perubahan itu. Perubahan pula yang memberikan daya dorong kepada dirinya untuk merubah dalam proses berpikir dari reaktif menjadi proaktif atau dari vertical menjadi lateral atau divergen menjadi konvergen. Namun demikian proses berpikir itu tetap diperlukan dan saling memiliki keterkaitan, sehingga proses belajarnya menuntut perhatian bagi yang ingin berubah. Dengan memiliki kemampuan proses berpikir itu, kepemimpinan dituntut untuk memanfaatkan energinya dalam menggali gelombang ketidakpastian menjadi yang pasti, sehingga mampu mengungkapkan penyerdahaan terhadap seluruh situasi yang dihadapi secara fokus atas masalah kedalam masalah strtegis, pokok dan tambahan.
            Akhirnya proses berpikir itu akan berakhir untuk mencari pemecahannya dengan menempatkan kepekaan atas kepentingan stakeholder sebagai pemegang resiko kunci yang harus mendapatkan perhatian dalam analisa strategis. Pelanggan, karyawan, pemasok dan pemilik modal, mereka adalah yang pertama mendapatkan informasi awal atas keinginan untuk melakukan perubahan artinya harus ada kejelasan mengapa kita harus melakukannya dan bagaimana kemampuan kita untuk melaksanakkannya, siapa yang harus melakukannya, kapan harus harus dilakukannya. Itulah komitmen yang harus ditanamkan bagi kepemimpinan yang ingin sukses dalam perubahan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN  KEPUTUSAN STRATEGI 
            Keputusan adalah suatu reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan - kemungkinan dari alternatif tersebut bersama konsekuensinya.Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir, dapat berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
            Keputusan strategik merupakan salah satu tanggung jawab utama pucuk pimpinan organisasi. Organisasi memerlukan wahana untuk merealisasikan misi dan visinya, dan wahana itu adalah disain organiasi. Kekeliruan di dalam mendisain organisasi akan membawa organisasi ke tempat lain selain tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Textbook strategic management mengajarkan bahwa disain organisasi seharusnya mendukung usaha organisasi merealisasikan cita-cita yang telah dituangkan dalam misi dan visi yang selanjutnya dirinci dalam rencana strategik (Strategic Plan), rencana taktis (Tactical Plan) dan rencana operasional (Operational Plan). Secara berurutan, semakin ke arah rencana operasional, rencana yang dibuat semakin rinci hingga penentuan apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang individu di dalam organisasi.
            Untuk itu keputusan dapat dirasakan rasional atau irrasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah.Keputusan-keputusan strategik akan diambil oleh pimpinan puncak berdasarkan suatu analisa strategis yang bertolak dari kesadaran, kecerdasan dan akal untuk mengubah keadaan sesuai dengan perubahan faktor eksternal dan internal.
            Untuk menggerakkan perubahan itu, maka kepemimpinan harus memiliki keterampilan yang berkaitan dengan hal-hal mengintreprestasikan hasil analisa SWOT  kedalam tingkat-tingkat interpensi dalam melaksanakan arah perubahan dimasa depan yang meliputi 1) arah yang mempengaruhi organisasi dan sistem secara menyeluruh seperti pengembangan visi dan misi, tujuan, sasaran dan strategi ; 2) yang mempengaruhi SBU (strategik bisnis unit) seperti pembentukan bisnis unit, reposisi binis unit; 3) yang mempengaruhi peringkat unit fungsional.

B.     TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1.      Tahap Masukan
            Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. Data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar perusahaan, seperti analisis pasar,analisis kompetitor, analisis komunitas, analisis pemasok, analisis pemerintah,analisis kelompok kepentingan tertentu. Sedangkan data internal dapat diperoleh di dalam perusahaan itu sendiri, seperti laporan keuangan (neraca, Laba-rugi, cash-flow, struktur pendanaan), laporan kegiatan sumber daya manusia (jumlah karyawan, pendidikan, keahlian, pengalaman, gaji, turn-over), laporan kegiatan operasional, laporan kegiatan pemasaran.Dalam evaluasi faktor strategis yang digunakan pada tahap ini adalah model Matrik Faktor strategisEksternal dan Matrik Faktor Strategi Internal
2.      Tahap Analisis
        Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap             kelangsungan perusahaan, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Dalam hal ini digunakan     model matrik TOWS atau matrik SWOT dan matrik internal-eksternal.
·         Matrik TOWS atau SWOT
Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi,dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisa SWOT.Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.
·         Matrik Internal-Eksternal (IE)
Parameter yang digunakan dalam matrik internal-eksternal ini meliputi parameter kekuatan internal perusahaan dan pengaruh eksternal yang dihadapi. Tujuan penggunaan model ini adalah untuk memperoleh strategi bisnis di tingkat korporat yang lebih detail.
  1. Tahap Pengambilan Keputusan
                  Setelah tahapan-tahapan terdahulu dibuat dan dianalisa, maka tahap selanjutnya       disusunlah daftar prioritas yang harus di-implementasikan. Quantitative Strategic    Planning Matrix (QSPM ) merupakan teknik yang secara obyektif dapat menetapkan             strategi alternatif yang diprioritaskan. Sebagai suatu teknik, QSPM memerlukan good intuitive judgement.

B. MEMBANGUN MODEL STRATEGI DALAM PERSFEKTIF MANAJEMEN

1.      Strategi Pemberdayaan Diri.
               Strategi pemberdayaan diri didekati dengan sistem sebagai seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, sehingga didalamnya terdapat sub-sub sistem strategi berpikir, belajar, bekerja dalam mewujudkan keputusan strategik.Dalam sub-sistem strategi pemberdayaan berpikir mencari jalan keluar agar setiap individu memerlukan peningkatan kemampuan berpikir metodis dan non metodis dengan melibatkan semua pihak agar mereka memiliki keinginan menjangkau dalam berpikir intuitif yang mengarah kepada persfektif, berpikir rencana jangka panjang yang mengarah pemahaman posisi dan berpikir rencana jangka pendek yang mengarah kepada performansi.Dalam sub-sistem strategi pemberdayaan belajar mencari jalan keluar keluar agar setiap individu mendapatkan daya dorong belajar kemauan sendiri, kemauan organisasi dan masyarakat.    
2.      Strategi Membangun Komitmen
               Strategi membangun komitmen didekati dengan sistem sebagai seperangkat     unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas,         sehingga didalamnya terdapat sub-sub sistem strategi bawahan, pemimpin dan      organisasi dalam mewujudkan keputusan strategik
               Dalam sub-sistem strategi             membangun komitmen bawahan mencari                   jalan keluar bagaimana dapat memberikan          motivasi kepada setiap individu         dalam mengkomunikasikan apa arti keberadaannya         dalam organisasi dan apa        yang dapat dibe-rikannya dalam berkarya sehingga timbul       komitmen dari lubuk      hatinya sendiri, bukan timbul yang dipaksakan.Dalam sub-   sistem strategi       membangun komitmen pimpinan mencari jalan keluar dalam bentuk   keteladanannya dalam komitmen, sehingga dengan kemampuan ia dapat        menunjukkan komitmen dalam mencari kesempatan kedalam tantangan proses,    mengerakkan kreativitas individu dan kelompok menjadi inovasi organisasi,     mendorong bawahan bertindak, menjadi penunjuk jalan dan memberikan motivasi         sebagai daya dorong bagi bawahannya

3.      Strategi Membangun Kolaborasi
               Strategi membangun kolaborasi didekati dengan sistem sebagai seperangkat     unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas,         sehingga didalamnya terdapat sub-sub sistem strategi budaya, proses dan struktur             dalam mewujudkan keputusan strategik Dalam sub-sistem strategi membangun       budaya mencari jalan keluar dalam membentuk kesamaan berpikir kedalam norma,    nilai, wewenang dan ganjar yang dijadikan landasan bersikap dan berperilaku    sebagai budaya kolaboratif
               Dalam sub-sistem strategi membangun proses mencari jalan keluar kedalam            proses kerja tim sebagai jenis khas kelompok kerja dimana tim harus diorgani-sasikan dan dikelola secara berbeda dengan jenis kelompok kerja lainnya oleh tim profesional sebagai tim kerja koloboratif Dalam sub-sistem strategi membangun struktur mencari jalan keluar kedalam struktur yang fleksibel dan mudah dikontrol dalam mengelola sumber-daya yang tersedia sebagai struktur kolaboratif. Wujud membangun kolaborasi mengkomunikasikan langkah-langkah untuk memberikan segala sesuatu yang dapat memahami sebagai daya dorong dalam membuka diri.

C.    TUJUAN, EFEKTIFITAS, DAN EFISIENSI STRATEGI
  1. Tujuan Dan Strategi
               Tujuan pada umumnya didefinisikan sebagai sesuatu yang ingin dicapai dalam jangka panjang; seperti bertahan hidup, keamanan dan memaksimalkan profit.Sasaran lebih nyata yaitu pencapaian hal-hal yang penting untuk mencapai tujuan. Mencapai sasaran akan lebih mendekatkan pada tujuan. Sasaran pada umumnya lebih spesifik dan harus dapat diukur dan biasanya mencakup kerangka target dan waktu. Hubungan antara tingkat akhir (tujuan & sasaran) dengan alat pencapaiannya (strategi dan taktik) tidaklah mudah. Keberadaan strategi tidak untuk mendikte tujuan, sebaliknya tujuan dan sasaran harus dipengaruhi oleh peluang yang tersedia.
  1. Efektifitas, Efisiensi, Dan Strategi
            Strategi memperhatikan hubungan antara pelaku (orang yang melakukan tindakan) dengan dunia luar. Strategi menyebutkan satu persatu hubungan penyebab dan hasil antara apa yang dilakukan pelaku dan bagaimana dunia luar menanggapinya. Strategi disebut efektif jika hasil yang dicapai seperti yang diinginkan. Karena kebanyakan situasi yang memerlukan analisa stratejik tidak statis melainkan interaktif dan dinamis, maka hubungan antara penyebab dan hasilnya tidak tetap atau pasti. Sebaliknya taktik adalah tindakan nyata yang diambil oleh pelaku dan sepenuhnya berada di bawah pengawasan pelaku. Kebalikan dari stratejik, taktik adalah internal dan kriteria yang digunakan bukanlah keefektifan melainkan efisiensi.



BAB III

KESIMPULAN


          Keputusan strategik merupakan salah satu tanggung jawab utama pucuk pimpinan organisasi. Organisasi memerlukan wahana untuk merealisasikan misi dan visinya, dan wahana itu adalah disain organiasi. Kekeliruan di dalam mendisain organisasi akan membawa organisasi ke tempat lain selain tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Textbook strategic management mengajarkan bahwa disain organisasi seharusnya mendukung usaha organisasi merealisasikan cita-cita yang telah dituangkan dalam misi dan visi yang selanjutnya dirinci dalam rencana strategik (Strategic Plan), rencana taktis (Tactical Plan) dan rencana operasional (Operational Plan). Secara berurutan, semakin ke arah rencana operasional, rencana yang dibuat semakin rinci hingga penentuan apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang individu di dalam organisasi.
            Proses penyusunan strategis dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis,yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, sehingga dapat diambil keputusan yang signifikan dengan kondisi yang ada.. Untuk jelasnya, proses penyusunan perencanaan strategis dapat dilihat pada kerangka formulasi strategis
DAFTAR PUSTAKA

Djanahar, Irwan, 2001. Pengantar Kuliah Manajemen Strategi – Analisa dan Pemilihan Strategies. Magister Manajemen Program Pasca Sarjana USU, Medan 2001
Kuntoro, Mangkusubroto, Trisnadi, Listiarini, C. 1987. Analisa keputusan “Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek”, ITB, Ganeca Exact  Bandung, Cetakan ke IV, Maret 1987
Rangkuty, Freddy. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Cetakan  Kedua, Penerbit PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1997.


























Survei Jajak Pendapat Opini Masyarakat Tentang Global Warming di Pusat Perbelanjaan Panakukang Mall Makassar Tahun 2008

A. PENDAHULUAN (LATAR BELAKANG)Global warming atau pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Hal ini disebabkan oleh efek rumah kaca, efek umpan balik, variasi matahari, dan perbuatan manusia.
Global Warming saat ini menjadi isu internasional. Isu tersebut timbul karena pemanasan global mempunyai dampak yang sangat besar bagi dunia dan kehidupan makhluk hidup. Para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Melihat global warming merupakan isu yang sedang marak diperbincangkan di masyarakat, maka kami ingin melihat bagaimana opini masyarakat tentang global warming kaitannya dengan kesehatan?

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
• Untuk mengetahui gambaran jumlah frekeuensi masyarakat yang menyetujui bahwa isu global warming merupakan masalah yang serius saat ini.

2. Tujuan Khusus :
• Untuk mengetahui gambaran jumlah frekuensi masyarakat yang menyetujui bahwa global warming disebabkan oleh perbuatan manusia.
• Untuk mengetahui gambaran jumlah frekuensi masyarakat yang menyetujui jika pemerintah membuat kebijakan mengenai global warming.
• Untuk mengetahui gambaran jumlah frekuensi masyarakat yang menyetujui bahwa global warming berdampak negative terhadap kesehatan manusia.
• Untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat mengenai dampak negative global warming terhadap kesehatan manusia.
• Untuk mengetahui opini masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam menanggulangi masalah global warming.
• Untuk mengetahui opini masyarakat mengenai upaya-upaya dalam meminimalisir dampak global warming.

C. METODE
1. Lokasi Praktik.
Praktik ini akan dilakukan di Pusat Perbelanjaan Panakukang Mall, yang terletak di jalan Pengayoman, Makassar. Kami mengambil tempat ini karena tempat ini merupakan pusat perbelanjaan dan rekreasi dimana pengunjungnya itu heterogen dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat.
2. Waktu Praktik.
Praktik akan dilaksanakan selama satu hari yaitu pada tanggal 2 Mei 2008.
3. Populasi.
Populasi dalam praktikum ini adalah semua pengunjung pusat perbelanjaan Panakukang Mall yang datang pada saat dilaksanakannya praktik ini.
4. Sampel.
Sampel dalam praktikum ini adalah beberapa pengunjung pusat perbelanjaan Panakukang Mall dengan jumlah sampel 200 orang
5. Metode Pengambilan Sampel.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak atau probability sampling yaitu Accidentaly sampling dimana sampel yang diambil yaitu pengnjung yang kami temui pada saat pengambilan data.
6. Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun berdasarkan tujuan praktikum. Responden yang terpilih sebagai sampel diminta untuk menjawab pertanyaan dari kuesioner yang dibacakan oleh interviewer (pelaksana praktikum).
7. Pengolahan dan Penyajian Data.
Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi yaitu meggunakan program SPSS 12 dan Microsoft Excel. Adapun hasil dari pengolahan data tersebut akan kami sajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan dalam waktu singkat akan dipublikasikan kemasyarakat melalui media informasi.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
a. Karakteristik Subjek
Dari hasil survey Jejak Pendapat yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 2 Mei 2008 di Pusat Perbelanjaan Mall Panakukang mengenai Gambaran Opini Masyarakat Mengenai Global Warming pada 200 responden bahwa dari 200 responden terdapat 115 responden (57,5 %) berjenis kelamin Perempuan dan 85 responden (42,5 %) berjenis kelamin Laki-laki.

• Pendidikan Terakhir
Berdasarkan tabel dan grafik dapat diketahui bahwa dari 200 responden, frekuensi pendidikan terakhir responden terbesar yaitu SMA sebanyak 115 responden (57,5%) dan yang terkecil yaitu SD sebanyak 3 reponden (1,5%).

• Umur
Diperoleh bahwa dari 200 responden, frekuensi umur responden terbesar yaiu pada umur 20 tahun sebanyak 23 Responden (11,5 %) dan terkecil pada umur 15, 32, 34, 54, 55, dan 60 tahun yaitu masing-masing sebanyak 1 responden (0,5%).

b. Temuan Utama
Dari hasil survey Jajak Pendapat yang dilakukan pada hari Jumat Tanggal 2 Mei 2008 di Pusat Perbelanjaan Panakukang Mall tentang Gambaran Opini Masyarakat Tentang Global Warming pada 200 responden, didapatkan temuan utama sebagai berikut :
• Opini Masyarakat (Setuju dan Tidak setuju)
Diperoleh bahwa dari 200 responden, jumlah frekuensi masyarakat yang setuju bahwa global warming merupakan masalah yang serius saat ini sebanyak 187 responden dan yang tidak setuju sebanyak 13 responden. Frekuensi masyarakat yang setuju bahwa global warming disebabkan oleh ulah tangan manusia sebanyak 187 reponden dan yang tidak setuju sebanyak 13 responden. Frekuensi masyarakat yang setuju jika pemerintah membuat kebijakan mengenai global warming sebanyak 181 responden dan yang tidak setuju sebanyak 9 responden. Frekuensi masyarakat yang setuju bahwa Global warming berdampak negative terhadap kesehatan sebanyak 195 responden dan yang tidak setuju sebanyak 5 responden.

• Opini Masyarakat mengenai Penyakit yang Disebabkan oleh Global Warming
Diperoleh bahwa dari 200 responden ada 119 responden (59,5 %) yang berpendapat bahwa penyakit yang disebabkan oleh global warming adalah “katarak, kanker kulit dan gangguan pernafasan” yang merupakan frekuensi terbesar dan frekuensi terkecil adalah “tidak tahu” yaitu sebanyak 6 responden (3 %).

• Opini Masyarakat Mengenai Siapa yang Bertanggung Jawab dalam Menanggulangi Global Warming
Diperoleh bahwa dari 200 responden, ada 146 responden (73 %) yang berpendapat bahwa yang bertanggung jawab dalam menanggulangi global warming adalah kita semua yang merupakan frekuensi terbesar dan frekuensi terkecil adalah tenaga kesehatan yaitu sebanyak 5 responden (2,5 %).

• Opini Masyarakat mengenai Upaya untuk Meminimalisir Global Warming
Diperoleh bahwa dari 200 responden, ada 105 responden (52,5 %) yang berpendapat bahwa upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak dari global warming adalah “reboisasi/penghijauan, menjaga lingkungan” yang merupakan rekuensi terbesar dan frekuensi terkecil adalah “mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor” yaitu sebanyak 13 responden (6,5 %).

• Hubungan antara Pendidikan Terakhir Responden dengan Opini Reponden tentang Global Warming
Diperoleh bahwa dari 200 responden ada 107 responden dengan pendidikan terakhir SMA yang setuju bahwa global warming merupakan masalah yang serius saat ini.

2. Pembahasan
Survai jajak pendapat merupakan survai sampel yang menyangkut pendapat umum dengan kelebihan mudah dilaksanakan, murah, cepat, praktis, dianggap mencakup seluruh masyarakat, dan hasilnya dapat diterima semua pihak. Namun di satu sisi, survai ini juga mempunyai keterbatasan yaitu cukup sulit untuk menemukan responden yang cukup aktif untuk dijadikan sampel. Selain itu, survai ini membutuhkan jumlah sampel yang cukup besar, namun dalam survai yang kami lakukan, kami tidak bisa menerapkan hal tersebut secara optimal dikarenakan populasi yang sangat besar tidak sebanding degan jumlah petugas survai yang sedikit. Oleh karena itu, kami hanya memgambil 200 responden dengan asumsi bahwa topik yang kami angkat merupakan masalah umum yang telah diketahui semua kalangan sehingga bisa mewakili populasi.
Keterbatasan lain dari survai ini adalah tidak bisa dilakukannya analisa hubungan antara karakteristik responden dengan pengetahuan responden khususnya dalam survai ini adalah pendidikan terakhir responden dengan opini bahwa global warming merupakan masalah yang serius saat ini. Hal ini disebabkan karena topik yang diangkat merupakan topik umum yang sebagian besar telah diketahui oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Pada survei yang kami lakukan kami mendapatkan bahwa dari 200 responden, sebagian besar responden menyetujui bahwa global warming merupakan masalah yang serius saat ini. Hal ini dikarenakan global warming merupakan topic umum yang sedang hangat dibincangkan dalam masyarakat baik melalui media elektronik maupun media cetak sehingga kami asumsikan pengetahuan masyarakat akan global warming ini bisa dikatakan cukup baik.
Dari 200 responden tersebut, sebagian besar juga menyetujui bahwa global warming disebabkan oleh ulah tangan manusia, menyetujui jika pemerintah membuat kebijakan tentang global warming dan menyetujui bahwa global warming berdampak negative terhadap kesehatan.
Selain itu, dari 200 responden sebagian besar berpendapat bahwa kita semualah yang seharusnya bertanggung jawab dalam menanggulangi masalah global warming dan upaya yang bisa mereka lakukan untuk meminimalisir adalah dengan melakukan reboisasi/penghijauan dan menjaga kebersihan lingkungan.
Adapun hasil dari survey ini belum sempat kami publikasikan ke masyarakat. Hal ini diakibatkan karena keterbatasan kami selaku petugas survey.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
• Frekeuensi masyarakat yang menyetujui bahwa isu global warming merupakan masalah yang serius saat ini yaitu 187 responden (93,5 %).
• Frekuensi masyarakat yang menyetujui bahwa global warming disebabkan oleh perbuatan manusia yaitu 187 responden (93,5 %) .
• Frekuensi masyarakat yang menyetujui jika pemerintah membuat kebijakan mengenai global warming yaitu 181 responden (90,5 %).
• Frekuensi masyarakat yang menyetujui bahwa global warming berdampak negative terhadap kesehatan manusia yaitu 195 responden (97,5 %).
• Freskuensi terbesar opini masyarakat mengenai Dampak negative global warming terhadap kesehatan manusia yaitu Penyakit Katarak, Kanker Kulit, dan Gangguan Pernafasan sebanyak 119 responden (59,5 %).
• Frekuensi terbesar opini masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam menanggulangi masalah global warming yaitu kita semua sebanyak 146 responden (73 %).
• Frekuensi terbesar opini masyarakat mengenai upaya-upaya dalam meminimalisir dampak global warming yaitu Reboisasi/Penghijauan dan menjaga kebersihan lingkungan sebanyak 105 responden (52,5 %).

2. Saran
• Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya jumlah sampel yang diambil sebanding dengan jumlah populasi penelitian sehingga data yang diperoleh bisa lebiih mewakili.
• Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya hasil dari survey ini bisa dipublikasikan ke masyarakat agar masyrakat bisa mengetahui apa hasil dari suvei tersebut.
• Sebaiknya sebelum pelaksanaan survey, para petugas survey hendaknya memaksimalkan fekuensi konsultasi dengan dosen pembimbing, agar pada pelaksanaannya bisa berjalan dengan maksimal.

Writer by : Ningsih, Erna, Ijonk, Riri, Muh. Rusdi